Sejarah dan
Pengertian
Manusia telah mengubah ekosistem alam
secara luas sejak mulai mengenal pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan
rumput untuk mengusahakan tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk
dirinya dan ternaknya melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan
pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan
memberikan unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah
menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman
pertanian sangat tergantung alam, gangguan iklim, hama dan penyakit.
Agroekosistem
(ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang monospesifik dengan kumpulan
beberapa gulma. Ekosistem pertanian sangat peka akan kekeringan, frost, hama/penyakit sedangkan pada
ekosistem alam dengan komunitas yang kompleks dan banyak spesies mempunyai
kemampuan untuk bertahan terhadap gangguan iklim dan makhluk perusak. Dalam
agroekosistem, tanaman dipanen dan diambil dari lapangan untuk konsumsi
manusia/ternak sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garam-garam dan
kandungan unsur-unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain. Untuk memelihara agar
keadaan produktivitas tetap tinggi kita menambah pupuk pada tanah pertanian
itu. Secara fungsional agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis transfer
enersi dan nutrisi terutama di grazing
food chain dengan demikian hemeostasis kecil.
Kesederhanaan
dalam struktur dan fungsi agroekosistem dan pemeliharaannya untuk mendapatkan
hasil yang maksimum, maka menjadikannya mudah goyah dan peka akan tekanan
lingkungan seperti kekeringan, frost, meledaknya hama dan penyakit dan
sebagainya.
Peningkatan
produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat
akhir-akhir ini dihasilkan satu tehnologi antara lain : mekanisasi, varietas
baru, cara pengendalian pengganggu, pemupukan, irigasi dan perluasan tanah
dengan membuka hutan dan padang rumput.
Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan
implikasi ekologi dalam ekosistem dan mempengaruhi struktur dan fungsi
biosfere.
Peningkatan
hasil tanaman dimungkinkan melalui cara-cara genetika tanaman dan pengelolaan
lingkungan dengan menyertakan peningkatan masukan materi dan enersi dalam
agroekosistem. Varietas baru suatu tanaman dikembangkan melalui program
persilangan dan saat akan datang dapat diharapkan memperoleh varietas baru
melalui rekayasa genetika yang makin
baik. Varietas baru mempunyai syarat-syarat kebutuhan lingkungan dan ini
penting untuk diketahui ekologinya sebelum disebarkan ke masyarakat dengan
skala luas.
Pengelolaan
lingkungan menimbulkan beberapa persoalan pada erosi tanah, pergantian iklim,
pola drainase dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.
Pada
tahun 1977 State of World Environment
Report (UNEP), memperingatkan abhwa, tanah yang dapat ditanami terbatas,
hanya ± 11% permukaan bumi dapat diusahakan
untuk pertanian. Secara total 1.240 juta ha untuk populasi 4.000 juta
(rata-rata 0,31 ha/orang). Area ini pada tahun 2.000 akan tereduksi sampai
hanya tinggal 940 juta ha dengan populasi penduduk dunia 6.250 juta.
Sehingga perbandingan lahan/orang tinggal 0,15
ha saja. Ini merupakan suatu peringatan dan memerlukan perhatian segera.
Sebab-sebab semakin kecilnya tanah yang dapat
ditanami antara lain :
1. Pemotongan vegetasi/penggundulan
sehingga tanah terbuka sehingga mudah tererosi air dan angin.
2. Mekanisasi
pertanian dan penggunaan pupuk organik yang menggemburkan tanah dan membuatnya
peka terhadap erosi.
3. Irigasi tanpa
diimbangi dengan drainase yang mengakibatkan terbentuknya lapisan kedap air dan
tanah menjadi kekurangan air. Lebih dari 300.000 ha tanah yang dapat ditanami
dirugikan karena salinisasi dan kebanjiran setiap tahun.
4. Pengerjaan
tanah yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan erosi.
5. Urbanisasi.
Hal yang disebutkan di atas merupakan
situasi yang dibuat oleh manusia dan dia sendiri sebenarnya dapat
mengendalikannya/mencegahnya melalui pengelolaan agroekosistem berdasarkan
prinsip-prinsip ekologi. Studi ekologi ekosistem tanah pertanian disertai
dengan pengetahuan autekologi tanaman dan gulma dengan dilengkapi watak
pertumbuhannya dan sifat kompetitifnya. Hubungan tanaman gulma pada tingkat
intra dan antar spesies memerlukan informasi, yang berguna untuk praktek
agronomi kita.
Hubungan tanah-tanaman merupakan aspek
lain yang memerlukan data untuk pengelolaan subsistem tanah dalam maksud
memulihkan tingkat kesuburan tanah yang maksimum. Pengetahuan pergantian
komponen fisik, kimia dan biologi tanah pertanian di bawah pola tanam yang
berbeda sangat penting untuk pengelolaan ekosistem. Penggunaan pupuk, pestisida
dan herbisida berpengaruh terhadap ekosistem.
N dengan skala luas berpengaruh
terhadap lapisan Ozon di Stratosfer. Kebanyakan pestisida/herbisida merubah
sifat fisik, kimia dan biologi subsistem tanah.
Beberapa bahan kimia mengalir ke kolam
dan sungai dengan demikian mempengaruhi flora dan fauna ekosistem air tawar.
Revolusi hijau dalam 1970 membawa pergantian pandangan pertanian kita. Siapnya
tanah yang dapat diairi dan air pengairan menjadi tidak cukup dan sekarang
hampir terjadi keduanya di daerah yang sama. Kesuburan jangka panjang tanah
pertanian yang stabil (mantap) dibahayakan tidak hanya oleh pengetahuan yang
sedikit tentang efek tekanan kimia, ekologi dan mekanisasi dalam intensifikasi
tetapi juga tekanan populasi langsung antara lain overgrazing, penggundulan, penanaman di daerah dengan kemiringan
yang berbahaya, urbanisasi tanah pertanian utama dan pengaruh sampingan
langsung dan tidak langsung.
Laporan
UNEP (1977) tentang gambaran keadaan lingkungan kurangnya makanan terutama
protein sekarang terjadi dengan implikasi yang mencemaskan, dua hal yang
kelaparan dan untuk kestabilan politik dunia. Situasi hari ini dengan pola
distribusi penduduk seperti itu yaitu perkembangan kota dengan lebih banyak
manusia dan kurang memproduksi makanan memaksa mereka impor bahan makanan dari
negara terbelakang.
dari ber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar